MAKALAH
FILSAFAT
PANCASILA
Korelasi
antara ideologi, pancasila dan konstitusi
Oleh:
Moh. Bakhrul Ulum
12620095
Kelas:
C
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGY
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG TAHUN 2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Segala puji bagi
Allah SWT yang mana dengan rahmat dan karunia- Nya yang senantiasa memberikan
kesehatan dan kekuatan kepada kita semua, sehingga dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul korelasi ideologi pancasila dan konstitusi.
Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat dan mendapat ridho Allah atas apa yang telah penulis susun, serta
menjadi ‘amalan mutaqobbilan dengan
niat dan ijtihad yang baik. Amiin. Atas dukungan ibu dosen kami ucapkan banyak
terimah kasih syukron katsir,
jazaakumullah khairal jazaa.
Malang, 16 april
2013
Penyusun
Daftar isi
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Pengertian Idiologi
Ideologi umumnya sering diartikan sebagai
sekumpulan konsep bersistem dan sering pula dipahami sebagai paham, teori dan
tujuan yang berpadu merupakan satu program sosial politik. Dan pengertian
Idiologi cenderung ditangkap dalam artian positif dan negative. Di sisi lain,
idelogi ditangkap dalam artian negative, karena dikonotasikan dengan sifat yang
totaliter yaitu memuat pandangan dan nilai yang menentukan seluruh segi
kehidupan manusia secara total, serta secara mutlak menuntut manusia hidup dan
bertindak sesuai dengan sesuai dengan apa yang telah digariskan Idiologi itu,
sehingga akhirnya mengikari kebebasan pribadi manusia serta membatasi ruang
geraknya (Taufiqurrohman. 2004;65).
Namun apabila ditengok Negara-negara yang
mengalami masa-masa penjajahan bangsa lain, Idiologi merupakan pengertian yang
positif terutama sekitar perang dunia ke II, karena menunjuk kepada keseluruhan
pandangan cita-cita, nilai dan keyakinan yang inngin mereka wujudkan dalam
kenyataan hidup yang kongkrit. Ideologi dalam artian itu bahkan dibutuhkan,
karena dianggap mampu membangkitkan kesadaran dan kemerdekaan, memberikan
orientasi mengenai dunia berserta isinya serta antar kaitannya, dan menamkan
motivasi dalam perjuangan masyarakat untuk bergerak melawan penjajahan dan
selanjutnya diwujudkan dalam sistem dan penyelenggaran Negara (Taufiqurrohman.
2004;67).
BAB II
ISI
I.
Hubugan Antara Ideologi
Dengan Konstitusi
Di dalam dunia politik istilah konstitusi
biasanya dipergunakan sekurang-kurangnya dipergunakan untuk melukiskan seluruh
sistem pemerintahan suatu negara, yaitu kumpulan ketentuan-ketentuan tentang
menetapkan dan yang mengatur pemerintahan. Ketentuan-ketentuan ini sebagian
bersifat aturan hukum dan sebagian bersifat non legal atau ektra legal. Dengan
demikian tidak heran apabila kemudian dinyatakan banyak ahli, bahwa sebuah
konstitusi atau UUD merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik
ketika negara akan didirikan atau ketika konstitusi itu disusun. Setelah itu
konstitusi mempunya kedudukan sangat penting karena ia harus menjadi landasan
penyelenggaraan negara dari berbagai segi sehingga setiap tingkah laku atau
kebijaksanaan politik dari setiap pemimpin negara akan senantiasa terlihat relevansinya
dengan ketentuan undang-undang dasar. Dan karena konstitusi itu merupakan
kristalisasi dari berbagai pemikiran politik, maka sebuah konstitusi bukan
sekedar aturan belaka mengenai ketatanegaraan. Konstitusi sebagai hukum dasar
(induk seluruh ketentuan hukum di sebuah negara) merefleksikan banyak hal
penting bagi negara bersangkutan. Sebagian substansi konstitusi merefleksikan
hal-hal yang monumental dimasa lalu, masa kini dan harapan masa dating (Mahfud
:2000;40).
Memahami eksistensi yang demikian, maka jelas
dalam sebuah konstitusi terkandung suatu ideologi dari bangsa negara. Karenanya
tidak heran kalau bangsa tertentu memandang konstitusi seakan-akan sebagai “barang keramat” yang tidak dapat disentuh. Demikian
pula halnya dengan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, ia merupakan
kristalisasi ide-ide tentang negara menjelang lahirnya negara Indonesia.
Ide-ide tentang negara itu tidak dapat dilepaskan dari ideologi yang hidup dan
tumbuh dalam diri bangsa Indonesia (Mahfud :2000;40).
Sebagaimana telah disinggung, bahwa ideologi
dapat dirumuskan sebagai kompleks pengetahuan dan nilai, yang secara
keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang (atau masyarakat) untuk memahami
jagat raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengolahnya.
Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya itu seseorang menangkap apa yang dilihat
benar dan tidak benar, serta apa yang dinilai baik dan tidak baik. Demikian
pula ia akan menjalankan kegiatan-kegiatan sebagai perwujudan keseluruhan
pengetahuan dan nilai yang dimilikinya. Seperti yang dikatakan oleh Soerjanto Poespowardojo (1992) , bahwa dengan
demikian akan terciptalah baginya suatu dunia kehidupan masyarakat dengan
sistem dan struktur sosial yang sesuai dengan orientasi ideologisnya. Namun ini
tidak berarti bahwa dunia kehidupan masyarakat semata-mata merupakan
manisfestasi ideologi, sebagaimana dapat dikemukakan menurut alam pikiran
Hegel. Karena ideologi bukanlah suatu yang berdiri sendiri lepas dari dari
kenyataan hidup masyarakat. Ideologi adalah produk kebudayaan suatu masyarakat
dan karena itu dalam arti tertentu merupakan manifestasi kenyataan sosial juga.
bahwa Ideologi mencerminkan cara berfikir masyarakat, namun juga membentuk
masyarakat menunju cita-cita. Dengan demikian terlihatlah bahwa ideologi bukan
sekedar pengatahuan teoritis belaka, tetapi merupakan sesuatu yang dihayati
menjadi suatu keyakinan. Ideologi adalah suatu pilihan yang jelas membawa
komitmen untuk mewujudkannya. Komitmen itu tercermin dalam sikap seseorang yang
meyakini ideologinya sebagai ketentuan normatif yang harus ditaati dalam
bermasyarakat. Ini tentu saja berbeda dengan pandangan hidup, dimana pandangan
hidup memberikan orientasi secara global dan tidak bersifat eksplisit. Meskipun
demikian dapat terjadi pandangan hidup menjadi Idiologi seperti halnya di
Indonesia, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia sekaligus sebagai
Idiologi Negara. Tetapi haruslah dipahami, bahwa Idiologi harus dibedakan dari
agama. Ideologi bukanlah agama. Ideologi hanya merupakan hasil pikiran manusia
berkat daya refleksinya yang tajam mengenai segala sesuatu dan segala kejadian
disekelilingnya, dan daya kreasinya dalam upaya memecahkan masalah yang
dihadapinya serta memperhatikan hari depan.
Poespowardojo menegaskan, bahwa sikap seseorang terhadap Idiologinya
bukanlah sikap percaya terhadap suatu ajaran, melainkan sikap natural terhadap
prinsip-prinsip hidup yang dikendalikan oleh akal-budi .
Memahami sedikit tentang Idiologi seperti yang
dijelaskan di atas memudahkan kita melihat pertautan antara Idiologi dengan
konstitusi. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa konsitusi merupakan
kristalisasi dari berbagai pemikiran politik ketika negara akan didirikan atau
ketika konstitusi itu disusun. Pemikiran politik dalam konteks ini tentulah tidak
mesti dipahami sebagai pemikiran politik praktis. Ini sangat penting karena
dalam perkembangannya kata Idiologi sebagaimana halnya di masyarakat Indonesia
mempunyai konotasi program sosial-politik yang cenderung menempatkan
lai-lainnya, termasuk hukum “bahkan
konstitusi sendiri” sebagai alat-alatnya dan oleh karena itu berada dalam
subordinasinya. Padal menurut A. Hamid S. Attamimi, menurut UUD 1945 hukumlah
yang memimpin semua program kehidupan rakyat Indonesia dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, termasuk program sosial politiknya
Pada satu sisi pancasila adalah Idiologi Negara
dan disisi lain Pancasila mempunyai kedudukan sebagai cita hukum yang menguasai
Hukum Dasar Negara. Apabila pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan
UUD 1945 mewujudkan cita hukum, maka pokok-pokok pikiran itu tidak lain
melainkan Pancasila. Dengan demikian, maka pokok-pokok pikiran yang mewujudkan
cita hukum itu ialah Pancasila yang sekaligus merupakan ideologi negara. Karena
itu jelaslah, bahwa apabila konstitusi dipahami sebagai kristalisasi dair
pemikiran politik ternyata bukan dalam artian politik praktis atau sebagai
kristalisasi dari program sosial politik. Dilain pihak sebagai dampak dari berkembangnya paham
negara konstitusional yang telah memperkembangkan suatu perangkat peraturan dan
ketentuan yang sangat jelas bagi berjalannya ketiga fungsi pemerintahan
(eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang bersumber pada konstitusi. Namun,
karena konstitusi adalah karya manusia maka tentunya tidak lepas dari
kekurangan-kekurangan. Ia juga bukan sebuah dogma yang harus berlaku abadi
tanpa diutak-atik. Dimanika kehidupan sosial bergerak begitu cepat sering kali
tidak bisa diprediksikan para pembuat konstitusi pada saat konstitusi disusun.
Terhadap hal ini Lito Exposto mengemukakan, bahwa Konstitusi pada kurun waktu
tertentu mungkin dianggap sempurna tetapi pada lain waktu dianggap tidak
memadai lagi. Beberapa ahli menyebut bahwa perubahan itu penting karena dua hal
(Taufiqurrohman.
2004;69).
(a) ia sesungguhnya adalah hasil sebuah kompromi
dari beberapa kekuatan politik dengan kepentingan-kepentingan yang berbeda.
(b) kemampuan para penyusunnya yang terbatas.
Oleh karena itu, sebuah konstitusi tidak dapat
berlaku seterusnya tanpa perubahan.
Dalam kaitannya dengan perubahan konstitusi itu, apakah sekagus perubahan terhadap ideologi ? Inilah sebenarnya pertanyaan penting ketika kita membincangkan hubungan antara ideologi dan konstitusi. Terutama ketika dalam suatu masyarakat negara menghendaki reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
Dalam kaitannya dengan perubahan konstitusi itu, apakah sekagus perubahan terhadap ideologi ? Inilah sebenarnya pertanyaan penting ketika kita membincangkan hubungan antara ideologi dan konstitusi. Terutama ketika dalam suatu masyarakat negara menghendaki reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
II.
Antara ideology dan
perubahan konstitusi
Reformasi merupakan suatu proses menyeimbangkan
in put, proses dan out put. Dalam padangan banyak orang, reformasi bertujuan
untuk membuka babak baru atau membuat langkah awal yang baru (to make a fresh
start) dalam kehidupan bernegara. Pandangan ini bisa diterima, apabila
reformasi tidak diterjemahkan atau dipahami sebagai revolusi. Dan sebagaimana
dikemukakan Indra Perwira (2005), bahwa sebelum melangkah dibutuhkan arah
tujuan baru yang jelas dan sebelum membuat arah tujuan itu diperlukan sebuah
paradigma, keyakinan, dan kerangka idiologi yang baru, yang pada akhirnya akan
melahirkan perombakan sistem ketatanegaraan baik suprastruktur maupun infra
struktur. Perombakan sistem ketatanegaraan itu lazimnya ditandai dengan
perubahan atau penggantian konstitusi, baik secara formal (formal amandement)
maupun melalui interprestasi (judicial interpretation, usage and costum) (Rozak. 2008;99).
Sebelumnya sudah dikemukakan bahwa antara
Idiologi dan konstitusi adalah suatu hal yang integral. Dengan demikian,
pendapat yang menyatakan konstitusi yang tidak dapat beradaptasi dengan
dinamika masyarakat akan kehilangan makna dan hanya menjadi sebuah dokumen yang
tidak bermanfaat, saya pikir adalah pendapat yang berlebihan. Padangan
demikian, sebenarnya telah kehilangan cita mengenai hakikat konstitusi yang
hanya dilihat dan dipahami sebagai sebuah aturan biasa. Meskipun kita setuju,
bahwa esensi perubahan bagi sebuah konstitusi adalah agar konstitusi itu dapat
merespons kebutuhan dan tuntutan zaman yang dengan demikian ia dapat bertahan.
Namun persoalannya dalam konstitusi itu termuat suatu Idiologi atau cita hukum.
Jadi masalahnya bukan sekedar apakah konstitusi itu memberikan perluang untuk
perubahan atau tidak, melainkan sejauhmana urgensi dari perubahan itu
diperlukan dan keterkaitannya dengan cita hukum yang tertuang dalam konstitusi
sebagai suatu kristalisasi dari berbagai pemikiran politik. Karena demikian esensialnya isi
konstitusi, maka konstitusi tidaklah boleh dikritisi dari kepentingan politik .
Pemikiran pembaharuan atau perubahan terhadap konstitusi mestilah dilakukan
dengan cita pemikiran ideal dan visioner. Politik dilihat sebagai sesuatu yang
kotor, busuk dan didominasi segelintir orang yang tidak peduli dengan nasib
bangsa. Pemerintahan baru yang demokratis pun dinilai tidak mampu untuk
menangani berbagai masalah seperti korupsi dan kejahatan. Kondisi serupa ini
tidaklah menjadi alasan untuk melakukan perubahan konstitusi, karena bisa jadi
hal itu terjadi karena para elit penyelenggara Negara tidak melakukan tugasnya
sesuai dengan yang diamanatkan konstitusi. Ujungnya adalah penegakkan hukum,
termasuk konstitusi. dari itulah
setidaknya kita dapat melihat korelasi antara ideologi dan perubahan konstitusi.
Karena Idiologi atau cita hukum yang tertuang dalam konstitusi mempunyai dua
fungsi sebagaimana halnya dengan Pancasila di Indonesia. Sebagaimana kita
ketahui bahwa cita hukum selain mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan
dasar suatu tatanan hukum, yang tanpa itu suatu hukum kehilangan arti dan
maknanya sebagai hukum, juga mempunyai fungsi regulative yang menentukan apakah
suatu hukum positif adil atau tidak adil. Demikian juga dalam hal Pancasila
merupakan cita hukum, maka nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila mempunyai
fungsi konstitutif, disamping fungsi regulative. Sementara kedudukan Pancasila
sebagai Norma hukum tertinggi dalam hal ini sebagai pokok-pokok pikiran
Pembukaan Hukum Dasar (UUD 1945) yang menciptakan pasal-pasal UUD 1945,
menentukan isi dan bentuk lapisan hukum yang lebih rendah.
Dari penjelasan diatas, maka jelaslah bahwa keberadaan Idiologi dengan konstitusi berada dalam suatu tatanan yang integral. Ideologi berada dalam dua kedudukan;
Dari penjelasan diatas, maka jelaslah bahwa keberadaan Idiologi dengan konstitusi berada dalam suatu tatanan yang integral. Ideologi berada dalam dua kedudukan;
Pertama Idiologi berkedudukan dalam tata hukum
namun terletak diluar sistem norma hukum. Dalam kedudukannya yang demikian
Idiologi berfungsi secara konstitutif dan secara regulatif terhadap norma-norma
yang ada dalam sistem norma hukum. Dan sebagai norma hukum tertinggi ideologi
dalam sistem norma hukum karena menjadi pokok-pokok pikiran dalam konstitusi,
maka ideologi merupakan norma dasar. konstitusi dibangun atas dasar ideologi
yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat-negara bersangkutan. Itulah sebabnya
mengapa dikatakan konstitusi bukan sekedar hukum yang adil dan biasa. Justeru
konstitusi adalah sebuah hukum yang fundamental. Karenya perubahan konstitusi tidaklah sekedar merespon
tuntutan zaman, apalagi sekedar memenuhi kepentingan politik, melainkan yang
paling penting adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan bangsa dalam rangka
mencapai tujuan bernegara. Dengan demikian, konstitusi tidak selalu dipahami
sebagai alat untuk membatasi kekuasaan negara. Ini tentu saja dengan
mendekatkan diri pada makna konstitusi yang lebih mendalam yakni ada dalam
konstitusionalisme (Rozak. 2008;109).
III.
Ideologi Dan Konstitusi.Pancasila
Sebagai Ideologi Terbuka
Menurut Brian Thompson, secara sederhana
pertanyaan: what is a constitution dapat dijawab bahwa “a constitution is a document which contains the rules for the the
operation of an organization.
Organisasi dimaksud beragam bentuk
dan kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi,
pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang
Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang
dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para ahli
tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris (jimly.1994;56).
Berlakunya suatu
konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan
tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka
sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham
kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi.
Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang
merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang
diaturnya. Karena itu, di
lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan
berlakunya suatu konstitusi (Sabaroedin.1989;88).
Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ
pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Pengertian
constituent
power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law).
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi
serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan
sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau
peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum
yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada
di bawah Undang-Undang
Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut (Sabaroedin.1989;89).
Konstitusi selalu
terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H.
Hamilton menyatakan “Constitutionalism is the name given to the trust which
men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government
in order”. Untuk tujuan to keep a government in order itu diperlukan
pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan
dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan
membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk
merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat
manusia (Sabaroedin.1989;91).
Konstitusionalisme
di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara
modern. Seperti
dikemukakan oleh C.J. Friedrich
sebagaimana dikutip di atas, “constitutionalism is an institutionalized
system of effective, regularized restraints upon governmental action”.
Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di
antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan
negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar
kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui
pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kuncinya adalah
konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh,
maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya
perang saudara (civil war)
atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa
besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis
tahun 1789, di Amerika pada
tahun 1776, dan di Rusia pada
tahun 1917, ataupun peristiwa besar di Indonesia
pada tahun 1945, 1965 dan 1998 (Karl.1998;103).
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme
di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus),
yaitu:
1. Kesepakatan
tentang tujuan atau cita-cita bersama (the
general goals of society or general acceptance of the same philosophy of
government).
2. Kesepakatan tentang the
rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang
bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan
dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme
di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya
paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama
warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau
kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan
dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan
atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan
atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische
grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara
sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara (Karl.1998;106).
Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan
itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima
prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan empat tujuan bernegara. Lima
prinsip dasar Pancasila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha
Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv)
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk
mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara, yaitu: (i) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan
kesejahteraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi,
dan keadilan social(Hood.1987;76).
Kesepakatan kedua
adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan
konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena
dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak
dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule
of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa digunakan untuk
itu adalah the rule of law yang dipelopori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di
Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu The Rule of
Law, and not of Man untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang
sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau
orang(Hood.1987;78).
Istilah The Rule of Law jelas berbeda dari
istilah The Rule by Law. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law)
digambarkan hanya sekedar bersifat instrumentalis atau alat, sedangkan
kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu The Rule of
Man by Law. Dalam pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu
kesatuan sistem yang di puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang
tidak lain adalah konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam
arti tidak tertulis. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah constitutional
state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat
penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam
memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus
semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi
sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi
atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya (Hood.1987;80).
Kesepakatan ketiga
adalah berkenaan dengan (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang
mengatur kekuasaannya; (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama
lain; serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara.
Dengan adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah
dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan
institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan
dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam
dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun
waktu yang cukup lama. Para perancang dan perumus konstitusi tidak seharusnya
membayangkan, bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu
dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah
diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah
seharusnya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak
mudahnya mekanisme perubahan undang-undang dasar tidak boleh menyebabkan
undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah.
Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemungkinan perubahan seperti yang
terjadi di masa Orde Baru(Richard.2004;92).
Keberadaan
Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang
berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau
kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks
kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme
menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila
sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa orde baru.
Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai
ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang secara apriori
ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi
kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan
nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak
dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat(Richard.2004;95).
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang
membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai
dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakat kedua dan ketiga sebagai
penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai
landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan Kesepakatan tentang bentuk
institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan-kesepakatan
tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang dikembangkan adalah sistem
demokrasi (Richard.2004;96)
Pancasila sebagai
ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal
maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak
individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan
demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun
individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata
seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam
sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan
kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem
etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai
individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya (Richard.2004;99).
BAB
III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Cita-cita ideal
bernegara berlaku bagi segenap bangsa Indonesia tanpa membedakan antara
laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan kemajuan tersendiri bagi bangsa
Indonesia dibandingkan beberapa konstitusi negara lain, bahkan di Amerika dan
Perancis, yang semula hanya menyebutkan kata “man” sebagai warga negara.
Salah satu sila dari Pancasila adalah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Hal
ini menunjukkan bahwa salah satu penyangga bangsa Indonesia adalah prinsip
kemanusiaan yang adil, yang dengan sendirinya menentang diskriminasi baik
berdasarkan ras, agama, keyakinan politik, maupun gender.
Berhadapan dengan
realitas masih adanya diskriminasi atas perempuan baik secara kultural maupun
struktural, adalah suatu ketidakadilan jika sekedar memberikan kesempatan yang
sama kepada perempuan dan laki-laki untuk berperan dalam berbagai bidang
kehidupan. Perempuan jelas akan tetap tertinggal karena kemampuan dan dukungan
sosial yang diperoleh kalah dibandingkan dengan laki-laki yang sejak awal
memang dominan.
Karena itulah
adalah sah dan memenuhi rasa keadilan jika terdapat kebijakan yang berupaya
mendorong peran perempuan dengan memberikan kuota khusus (affirmative action).
Hal ini secara konstitusional dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan “Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
DAFTAR
PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di
Indonesia. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Kranenburg, R. dan Tk. B. Sabaroedin. Ilmu Negara
Umum. Cetakan Kesebelas. Jakarta: Pradnya Paramita, 1989.
Mannheim, Karl. deology
and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge.. Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
Phillips,
O. Hood. Constitutional and Administrative Law. 7th ed. London: Sweet and Maxwell, 1987.
Pildes,
Richard H. “The Constitutionalization of Democratic Politics”. Harvard Law
Review, Vol. 118:1, 2004.
Syahuri,
Taufiqurrohman. 2004. Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD di indonesia 1945-2002. Bogor: Ghalia
Indonesia
Ubaidillah, Abdul Rozak. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan
(civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta:
KENCANA.
Mahfud .2000. idiologi pancasila
dan konstitusi.Jakarta: erlangga.