Jumat, 19 April 2013

makalah korelasai antar ideologi, pancasila dan konstitusi


MAKALAH
FILSAFAT PANCASILA
Korelasi antara ideologi, pancasila dan konstitusi



 Description: Description: k.jpg

Oleh:
Moh. Bakhrul Ulum
12620095
Kelas: C

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGY
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG TAHUN 2013





KATA PENGANTAR



Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah SWT yang mana dengan rahmat dan karunia- Nya yang senantiasa memberikan kesehatan dan kekuatan kepada kita semua, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul korelasi ideologi pancasila dan konstitusi.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan mendapat ridho Allah atas apa yang telah penulis susun, serta menjadi ‘amalan mutaqobbilan dengan niat dan ijtihad yang baik. Amiin. Atas dukungan ibu dosen kami ucapkan banyak terimah kasih syukron katsir, jazaakumullah khairal jazaa.
                                                                       




Malang, 16  april  2013


              Penyusun








Daftar isi











BAB I

PENDAHULUAN

I.                  Pengertian Idiologi

Ideologi umumnya sering diartikan sebagai sekumpulan konsep bersistem dan sering pula dipahami sebagai paham, teori dan tujuan yang berpadu merupakan satu program sosial politik. Dan pengertian Idiologi cenderung ditangkap dalam artian positif dan negative. Di sisi lain, idelogi ditangkap dalam artian negative, karena dikonotasikan dengan sifat yang totaliter yaitu memuat pandangan dan nilai yang menentukan seluruh segi kehidupan manusia secara total, serta secara mutlak menuntut manusia hidup dan bertindak sesuai dengan sesuai dengan apa yang telah digariskan Idiologi itu, sehingga akhirnya mengikari kebebasan pribadi manusia serta membatasi ruang geraknya (Taufiqurrohman. 2004;65).

Namun apabila ditengok Negara-negara yang mengalami masa-masa penjajahan bangsa lain, Idiologi merupakan pengertian yang positif terutama sekitar perang dunia ke II, karena menunjuk kepada keseluruhan pandangan cita-cita, nilai dan keyakinan yang inngin mereka wujudkan dalam kenyataan hidup yang kongkrit. Ideologi dalam artian itu bahkan dibutuhkan, karena dianggap mampu membangkitkan kesadaran dan kemerdekaan, memberikan orientasi mengenai dunia berserta isinya serta antar kaitannya, dan menamkan motivasi dalam perjuangan masyarakat untuk bergerak melawan penjajahan dan selanjutnya diwujudkan dalam sistem dan penyelenggaran Negara (Taufiqurrohman. 2004;67).









BAB II

ISI

 

I.                  Hubugan Antara Ideologi Dengan Konstitusi


Di dalam dunia politik istilah konstitusi biasanya dipergunakan sekurang-kurangnya dipergunakan untuk melukiskan seluruh sistem pemerintahan suatu negara, yaitu kumpulan ketentuan-ketentuan tentang menetapkan dan yang mengatur pemerintahan. Ketentuan-ketentuan ini sebagian bersifat aturan hukum dan sebagian bersifat non legal atau ektra legal. Dengan demikian tidak heran apabila kemudian dinyatakan banyak ahli, bahwa sebuah konstitusi atau UUD merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik ketika negara akan didirikan atau ketika konstitusi itu disusun. Setelah itu konstitusi mempunya kedudukan sangat penting karena ia harus menjadi landasan penyelenggaraan negara dari berbagai segi sehingga setiap tingkah laku atau kebijaksanaan politik dari setiap pemimpin negara akan senantiasa terlihat relevansinya dengan ketentuan undang-undang dasar. Dan karena konstitusi itu merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik, maka sebuah konstitusi bukan sekedar aturan belaka mengenai ketatanegaraan. Konstitusi sebagai hukum dasar (induk seluruh ketentuan hukum di sebuah negara) merefleksikan banyak hal penting bagi negara bersangkutan. Sebagian substansi konstitusi merefleksikan hal-hal yang monumental dimasa lalu, masa kini dan harapan masa dating (Mahfud :2000;40).
Memahami eksistensi yang demikian, maka jelas dalam sebuah konstitusi terkandung suatu ideologi dari bangsa negara. Karenanya tidak heran kalau bangsa tertentu memandang konstitusi seakan-akan sebagai  “barang keramat” yang tidak dapat disentuh. Demikian pula halnya dengan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, ia merupakan kristalisasi ide-ide tentang negara menjelang lahirnya negara Indonesia. Ide-ide tentang negara itu tidak dapat dilepaskan dari ideologi yang hidup dan tumbuh dalam diri bangsa Indonesia (Mahfud :2000;40).
Sebagaimana telah disinggung, bahwa ideologi dapat dirumuskan sebagai kompleks pengetahuan dan nilai, yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang (atau masyarakat) untuk memahami jagat raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengolahnya. Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya itu seseorang menangkap apa yang dilihat benar dan tidak benar, serta apa yang dinilai baik dan tidak baik. Demikian pula ia akan menjalankan kegiatan-kegiatan sebagai perwujudan keseluruhan pengetahuan dan nilai yang dimilikinya. Seperti yang dikatakan oleh  Soerjanto Poespowardojo (1992) , bahwa dengan demikian akan terciptalah baginya suatu dunia kehidupan masyarakat dengan sistem dan struktur sosial yang sesuai dengan orientasi ideologisnya. Namun ini tidak berarti bahwa dunia kehidupan masyarakat semata-mata merupakan manisfestasi ideologi, sebagaimana dapat dikemukakan menurut alam pikiran Hegel. Karena ideologi bukanlah suatu yang berdiri sendiri lepas dari dari kenyataan hidup masyarakat. Ideologi adalah produk kebudayaan suatu masyarakat dan karena itu dalam arti tertentu merupakan manifestasi kenyataan sosial juga. bahwa Ideologi mencerminkan cara berfikir masyarakat, namun juga membentuk masyarakat menunju cita-cita. Dengan demikian terlihatlah bahwa ideologi bukan sekedar pengatahuan teoritis belaka, tetapi merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi adalah suatu pilihan yang jelas membawa komitmen untuk mewujudkannya. Komitmen itu tercermin dalam sikap seseorang yang meyakini ideologinya sebagai ketentuan normatif yang harus ditaati dalam bermasyarakat. Ini tentu saja berbeda dengan pandangan hidup, dimana pandangan hidup memberikan orientasi secara global dan tidak bersifat eksplisit. Meskipun demikian dapat terjadi pandangan hidup menjadi Idiologi seperti halnya di Indonesia, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia sekaligus sebagai Idiologi Negara. Tetapi haruslah dipahami, bahwa Idiologi harus dibedakan dari agama. Ideologi bukanlah agama. Ideologi hanya merupakan hasil pikiran manusia berkat daya refleksinya yang tajam mengenai segala sesuatu dan segala kejadian disekelilingnya, dan daya kreasinya dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapinya serta memperhatikan hari depan.  Poespowardojo menegaskan, bahwa sikap seseorang terhadap Idiologinya bukanlah sikap percaya terhadap suatu ajaran, melainkan sikap natural terhadap prinsip-prinsip hidup yang dikendalikan oleh akal-budi .
Memahami sedikit tentang Idiologi seperti yang dijelaskan di atas memudahkan kita melihat pertautan antara Idiologi dengan konstitusi. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa konsitusi merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik ketika negara akan didirikan atau ketika konstitusi itu disusun. Pemikiran politik dalam konteks ini tentulah tidak mesti dipahami sebagai pemikiran politik praktis. Ini sangat penting karena dalam perkembangannya kata Idiologi sebagaimana halnya di masyarakat Indonesia mempunyai konotasi program sosial-politik yang cenderung menempatkan lai-lainnya, termasuk hukum  “bahkan konstitusi sendiri” sebagai alat-alatnya dan oleh karena itu berada dalam subordinasinya. Padal menurut A. Hamid S. Attamimi, menurut UUD 1945 hukumlah yang memimpin semua program kehidupan rakyat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk program sosial politiknya
Pada satu sisi pancasila adalah Idiologi Negara dan disisi lain Pancasila mempunyai kedudukan sebagai cita hukum yang menguasai Hukum Dasar Negara. Apabila pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 mewujudkan cita hukum, maka pokok-pokok pikiran itu tidak lain melainkan Pancasila. Dengan demikian, maka pokok-pokok pikiran yang mewujudkan cita hukum itu ialah Pancasila yang sekaligus merupakan ideologi negara. Karena itu jelaslah, bahwa apabila konstitusi dipahami sebagai kristalisasi dair pemikiran politik ternyata bukan dalam artian politik praktis atau sebagai kristalisasi dari program sosial politik. Dilain pihak sebagai dampak dari berkembangnya paham negara konstitusional yang telah memperkembangkan suatu perangkat peraturan dan ketentuan yang sangat jelas bagi berjalannya ketiga fungsi pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang bersumber pada konstitusi. Namun, karena konstitusi adalah karya manusia maka tentunya tidak lepas dari kekurangan-kekurangan. Ia juga bukan sebuah dogma yang harus berlaku abadi tanpa diutak-atik. Dimanika kehidupan sosial bergerak begitu cepat sering kali tidak bisa diprediksikan para pembuat konstitusi pada saat konstitusi disusun. Terhadap hal ini Lito Exposto mengemukakan, bahwa Konstitusi pada kurun waktu tertentu mungkin dianggap sempurna tetapi pada lain waktu dianggap tidak memadai lagi. Beberapa ahli menyebut bahwa perubahan itu penting karena dua hal
(Taufiqurrohman. 2004;69).
(a) ia sesungguhnya adalah hasil sebuah kompromi dari beberapa kekuatan politik dengan kepentingan-kepentingan yang berbeda.
(b) kemampuan para penyusunnya yang terbatas.
Oleh karena itu, sebuah konstitusi tidak dapat berlaku seterusnya tanpa perubahan.
Dalam kaitannya dengan perubahan konstitusi itu, apakah sekagus perubahan terhadap ideologi ? Inilah sebenarnya pertanyaan penting ketika kita membincangkan hubungan antara ideologi dan konstitusi. Terutama ketika dalam suatu masyarakat negara menghendaki reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

II.               Antara ideology dan perubahan konstitusi

Reformasi merupakan suatu proses menyeimbangkan in put, proses dan out put. Dalam padangan banyak orang, reformasi bertujuan untuk membuka babak baru atau membuat langkah awal yang baru (to make a fresh start) dalam kehidupan bernegara. Pandangan ini bisa diterima, apabila reformasi tidak diterjemahkan atau dipahami sebagai revolusi. Dan sebagaimana dikemukakan Indra Perwira (2005), bahwa sebelum melangkah dibutuhkan arah tujuan baru yang jelas dan sebelum membuat arah tujuan itu diperlukan sebuah paradigma, keyakinan, dan kerangka idiologi yang baru, yang pada akhirnya akan melahirkan perombakan sistem ketatanegaraan baik suprastruktur maupun infra struktur. Perombakan sistem ketatanegaraan itu lazimnya ditandai dengan perubahan atau penggantian konstitusi, baik secara formal (formal amandement) maupun melalui interprestasi (judicial interpretation, usage and costum) (Rozak. 2008;99).
Sebelumnya sudah dikemukakan bahwa antara Idiologi dan konstitusi adalah suatu hal yang integral. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan konstitusi yang tidak dapat beradaptasi dengan dinamika masyarakat akan kehilangan makna dan hanya menjadi sebuah dokumen yang tidak bermanfaat, saya pikir adalah pendapat yang berlebihan. Padangan demikian, sebenarnya telah kehilangan cita mengenai hakikat konstitusi yang hanya dilihat dan dipahami sebagai sebuah aturan biasa. Meskipun kita setuju, bahwa esensi perubahan bagi sebuah konstitusi adalah agar konstitusi itu dapat merespons kebutuhan dan tuntutan zaman yang dengan demikian ia dapat bertahan. Namun persoalannya dalam konstitusi itu termuat suatu Idiologi atau cita hukum. Jadi masalahnya bukan sekedar apakah konstitusi itu memberikan perluang untuk perubahan atau tidak, melainkan sejauhmana urgensi dari perubahan itu diperlukan dan keterkaitannya dengan cita hukum yang tertuang dalam konstitusi sebagai suatu kristalisasi dari berbagai pemikiran politik. Karena demikian esensialnya isi konstitusi, maka konstitusi tidaklah boleh dikritisi dari kepentingan politik . Pemikiran pembaharuan atau perubahan terhadap konstitusi mestilah dilakukan dengan cita pemikiran ideal dan visioner. Politik dilihat sebagai sesuatu yang kotor, busuk dan didominasi segelintir orang yang tidak peduli dengan nasib bangsa. Pemerintahan baru yang demokratis pun dinilai tidak mampu untuk menangani berbagai masalah seperti korupsi dan kejahatan. Kondisi serupa ini tidaklah menjadi alasan untuk melakukan perubahan konstitusi, karena bisa jadi hal itu terjadi karena para elit penyelenggara Negara tidak melakukan tugasnya sesuai dengan yang diamanatkan konstitusi. Ujungnya adalah penegakkan hukum, termasuk konstitusi. dari itulah setidaknya kita dapat melihat korelasi antara ideologi dan perubahan konstitusi. Karena Idiologi atau cita hukum yang tertuang dalam konstitusi mempunyai dua fungsi sebagaimana halnya dengan Pancasila di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa cita hukum selain mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan dasar suatu tatanan hukum, yang tanpa itu suatu hukum kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum, juga mempunyai fungsi regulative yang menentukan apakah suatu hukum positif adil atau tidak adil. Demikian juga dalam hal Pancasila merupakan cita hukum, maka nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila mempunyai fungsi konstitutif, disamping fungsi regulative. Sementara kedudukan Pancasila sebagai Norma hukum tertinggi dalam hal ini sebagai pokok-pokok pikiran Pembukaan Hukum Dasar (UUD 1945) yang menciptakan pasal-pasal UUD 1945, menentukan isi dan bentuk lapisan hukum yang lebih rendah.
Dari penjelasan diatas, maka jelaslah bahwa keberadaan Idiologi dengan konstitusi berada dalam suatu tatanan yang integral. Ideologi berada dalam dua kedudukan;
Pertama Idiologi berkedudukan dalam tata hukum namun terletak diluar sistem norma hukum. Dalam kedudukannya yang demikian Idiologi berfungsi secara konstitutif dan secara regulatif terhadap norma-norma yang ada dalam sistem norma hukum. Dan sebagai norma hukum tertinggi ideologi dalam sistem norma hukum karena menjadi pokok-pokok pikiran dalam konstitusi, maka ideologi merupakan norma dasar. konstitusi dibangun atas dasar ideologi yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat-negara bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa dikatakan konstitusi bukan sekedar hukum yang adil dan biasa. Justeru konstitusi adalah sebuah hukum yang fundamental. Karenya perubahan konstitusi tidaklah sekedar merespon tuntutan zaman, apalagi sekedar memenuhi kepentingan politik, melainkan yang paling penting adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dengan demikian, konstitusi tidak selalu dipahami sebagai alat untuk membatasi kekuasaan negara. Ini tentu saja dengan mendekatkan diri pada makna konstitusi yang lebih mendalam yakni ada dalam konstitusionalisme (Rozak. 2008;109).

III.           Ideologi Dan Konstitusi.Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanya­an: what is a constitution dapat dijawab bahwa “a consti­tution is a document which contains the rules for the the operation of an organization. Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tum­buh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris  (jimly.1994;56).
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang meng­ikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedau­latan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang dise­but oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewe­nangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diatur­nya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demo­krasi, rak­yatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi (Sabaroedin.1989;88).
Constituent power menda­hului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pe­me­rin­tahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut (Sabaroedin.1989;89).
Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Consti­tutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words eng­rossed on parchment to keep a government in order”. Untuk tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sede­mikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses peme­rintahan dapat dibatasi dan dikendalikan seba­gai­mana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekua­saan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia (Sabaroedin.1989;91).
Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seper­ti dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas, “constitutionalism is an insti­tutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepa­katan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi ke­kua­saan negara yang bersangkutan, dan pada gi­lir­annya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misal­nya, ter­cermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Ame­rika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun peristiwa besar di In­do­nesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998 (Karl.1998;103).
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalis­me di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kese­pakatan (consensus), yaitu:
1.          Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).
2.         Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
3.         Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).

Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan de­ngan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konsti­tusi dan konsti­tusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung­kin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema­jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin ke­ber­samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe­rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju­ga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara (Karl.1998;106).
Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu­judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca­sila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne­gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah­teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde­kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan social(Hood.1987;76).
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis peme­rin­tahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks pe­nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa diguna­kan untuk itu adalah the rule of law yang dipelo­pori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu The Rule of Law, and not of Man untuk menggam­barkan pe­ngertian bah­wa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang(Hood.1987;78).
Istilah The Rule of Law jelas berbeda dari istilah The Rule by Law. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digam­barkan hanya sekedar bersifat instru­mentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu The Rule of Man by Law. Dalam pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang di puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah consti­tutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting se­hingga konstitusi sendiri dapat dija­dikan pegangan tertinggi dalam memutuskan sega­la sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya (Hood.1987;80).
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) ba­ngunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya; (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain; serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepa­kat­an itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama ber­ke­naan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ke­tatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kese­pakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam doku­men konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para peran­cang dan perumus konstitusi tidak seharus­nya membayang­kan, bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah seharus­nya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme perubahan un­dang-undang dasar tidak boleh menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemung­kinan perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru(Richard.2004;92).
Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa orde baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat(Richard.2004;95).
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakat kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi (Richard.2004;96)
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya (Richard.2004;99).



BAB III

PENUTUP


I.                  Kesimpulan
Cita-cita ideal bernegara berlaku bagi segenap bangsa Indonesia tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan kemajuan tersendiri bagi bangsa Indonesia dibandingkan beberapa konstitusi negara lain, bahkan di Amerika dan Perancis, yang semula hanya menyebutkan kata “man” sebagai warga negara. Salah satu sila dari Pancasila adalah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu penyangga bangsa Indonesia adalah prinsip kemanusiaan yang adil, yang dengan sendirinya menentang diskriminasi baik berdasarkan ras, agama, keyakinan politik, maupun gender.
Berhadapan dengan realitas masih adanya diskriminasi atas perempuan baik secara kultural maupun struktural, adalah suatu ketidakadilan jika sekedar memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk berperan dalam berbagai bidang kehidupan. Perempuan jelas akan tetap tertinggal karena kemampuan dan dukungan sosial yang diperoleh kalah dibandingkan dengan laki-laki yang sejak awal memang dominan.
Karena itulah adalah sah dan memenuhi rasa keadilan jika terdapat kebijakan yang berupaya mendorong peran perempuan dengan memberikan kuota khusus (affirmative action). Hal ini secara konstitusional dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”


DAFTAR PUSTAKA


Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Kranenburg, R. dan Tk. B. Sabaroedin. Ilmu Negara Umum. Cetakan Kesebelas. Jakarta: Pradnya Paramita, 1989.
Mannheim, Karl. deology and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge.. Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
Phillips, O. Hood. Constitutional and Administrative Law. 7th ed. London: Sweet and Maxwell, 1987.
Pildes, Richard H. “The Constitutionalization of Democratic Politics”. Harvard Law Review, Vol. 118:1, 2004.
Syahuri, Taufiqurrohman. 2004. Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD di                        indonesia 1945-2002. Bogor: Ghalia Indonesia
Ubaidillah, Abdul Rozak. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: KENCANA.
Mahfud .2000. idiologi pancasila dan konstitusi.Jakarta: erlangga.



1 komentar: