Jumat, 19 April 2013

makalah korelasai antar ideologi, pancasila dan konstitusi


MAKALAH
FILSAFAT PANCASILA
Korelasi antara ideologi, pancasila dan konstitusi



 Description: Description: k.jpg

Oleh:
Moh. Bakhrul Ulum
12620095
Kelas: C

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGY
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG TAHUN 2013





KATA PENGANTAR



Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah SWT yang mana dengan rahmat dan karunia- Nya yang senantiasa memberikan kesehatan dan kekuatan kepada kita semua, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul korelasi ideologi pancasila dan konstitusi.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan mendapat ridho Allah atas apa yang telah penulis susun, serta menjadi ‘amalan mutaqobbilan dengan niat dan ijtihad yang baik. Amiin. Atas dukungan ibu dosen kami ucapkan banyak terimah kasih syukron katsir, jazaakumullah khairal jazaa.
                                                                       




Malang, 16  april  2013


              Penyusun








Daftar isi











BAB I

PENDAHULUAN

I.                  Pengertian Idiologi

Ideologi umumnya sering diartikan sebagai sekumpulan konsep bersistem dan sering pula dipahami sebagai paham, teori dan tujuan yang berpadu merupakan satu program sosial politik. Dan pengertian Idiologi cenderung ditangkap dalam artian positif dan negative. Di sisi lain, idelogi ditangkap dalam artian negative, karena dikonotasikan dengan sifat yang totaliter yaitu memuat pandangan dan nilai yang menentukan seluruh segi kehidupan manusia secara total, serta secara mutlak menuntut manusia hidup dan bertindak sesuai dengan sesuai dengan apa yang telah digariskan Idiologi itu, sehingga akhirnya mengikari kebebasan pribadi manusia serta membatasi ruang geraknya (Taufiqurrohman. 2004;65).

Namun apabila ditengok Negara-negara yang mengalami masa-masa penjajahan bangsa lain, Idiologi merupakan pengertian yang positif terutama sekitar perang dunia ke II, karena menunjuk kepada keseluruhan pandangan cita-cita, nilai dan keyakinan yang inngin mereka wujudkan dalam kenyataan hidup yang kongkrit. Ideologi dalam artian itu bahkan dibutuhkan, karena dianggap mampu membangkitkan kesadaran dan kemerdekaan, memberikan orientasi mengenai dunia berserta isinya serta antar kaitannya, dan menamkan motivasi dalam perjuangan masyarakat untuk bergerak melawan penjajahan dan selanjutnya diwujudkan dalam sistem dan penyelenggaran Negara (Taufiqurrohman. 2004;67).









BAB II

ISI

 

I.                  Hubugan Antara Ideologi Dengan Konstitusi


Di dalam dunia politik istilah konstitusi biasanya dipergunakan sekurang-kurangnya dipergunakan untuk melukiskan seluruh sistem pemerintahan suatu negara, yaitu kumpulan ketentuan-ketentuan tentang menetapkan dan yang mengatur pemerintahan. Ketentuan-ketentuan ini sebagian bersifat aturan hukum dan sebagian bersifat non legal atau ektra legal. Dengan demikian tidak heran apabila kemudian dinyatakan banyak ahli, bahwa sebuah konstitusi atau UUD merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik ketika negara akan didirikan atau ketika konstitusi itu disusun. Setelah itu konstitusi mempunya kedudukan sangat penting karena ia harus menjadi landasan penyelenggaraan negara dari berbagai segi sehingga setiap tingkah laku atau kebijaksanaan politik dari setiap pemimpin negara akan senantiasa terlihat relevansinya dengan ketentuan undang-undang dasar. Dan karena konstitusi itu merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik, maka sebuah konstitusi bukan sekedar aturan belaka mengenai ketatanegaraan. Konstitusi sebagai hukum dasar (induk seluruh ketentuan hukum di sebuah negara) merefleksikan banyak hal penting bagi negara bersangkutan. Sebagian substansi konstitusi merefleksikan hal-hal yang monumental dimasa lalu, masa kini dan harapan masa dating (Mahfud :2000;40).
Memahami eksistensi yang demikian, maka jelas dalam sebuah konstitusi terkandung suatu ideologi dari bangsa negara. Karenanya tidak heran kalau bangsa tertentu memandang konstitusi seakan-akan sebagai  “barang keramat” yang tidak dapat disentuh. Demikian pula halnya dengan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, ia merupakan kristalisasi ide-ide tentang negara menjelang lahirnya negara Indonesia. Ide-ide tentang negara itu tidak dapat dilepaskan dari ideologi yang hidup dan tumbuh dalam diri bangsa Indonesia (Mahfud :2000;40).
Sebagaimana telah disinggung, bahwa ideologi dapat dirumuskan sebagai kompleks pengetahuan dan nilai, yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang (atau masyarakat) untuk memahami jagat raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengolahnya. Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya itu seseorang menangkap apa yang dilihat benar dan tidak benar, serta apa yang dinilai baik dan tidak baik. Demikian pula ia akan menjalankan kegiatan-kegiatan sebagai perwujudan keseluruhan pengetahuan dan nilai yang dimilikinya. Seperti yang dikatakan oleh  Soerjanto Poespowardojo (1992) , bahwa dengan demikian akan terciptalah baginya suatu dunia kehidupan masyarakat dengan sistem dan struktur sosial yang sesuai dengan orientasi ideologisnya. Namun ini tidak berarti bahwa dunia kehidupan masyarakat semata-mata merupakan manisfestasi ideologi, sebagaimana dapat dikemukakan menurut alam pikiran Hegel. Karena ideologi bukanlah suatu yang berdiri sendiri lepas dari dari kenyataan hidup masyarakat. Ideologi adalah produk kebudayaan suatu masyarakat dan karena itu dalam arti tertentu merupakan manifestasi kenyataan sosial juga. bahwa Ideologi mencerminkan cara berfikir masyarakat, namun juga membentuk masyarakat menunju cita-cita. Dengan demikian terlihatlah bahwa ideologi bukan sekedar pengatahuan teoritis belaka, tetapi merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi adalah suatu pilihan yang jelas membawa komitmen untuk mewujudkannya. Komitmen itu tercermin dalam sikap seseorang yang meyakini ideologinya sebagai ketentuan normatif yang harus ditaati dalam bermasyarakat. Ini tentu saja berbeda dengan pandangan hidup, dimana pandangan hidup memberikan orientasi secara global dan tidak bersifat eksplisit. Meskipun demikian dapat terjadi pandangan hidup menjadi Idiologi seperti halnya di Indonesia, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia sekaligus sebagai Idiologi Negara. Tetapi haruslah dipahami, bahwa Idiologi harus dibedakan dari agama. Ideologi bukanlah agama. Ideologi hanya merupakan hasil pikiran manusia berkat daya refleksinya yang tajam mengenai segala sesuatu dan segala kejadian disekelilingnya, dan daya kreasinya dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapinya serta memperhatikan hari depan.  Poespowardojo menegaskan, bahwa sikap seseorang terhadap Idiologinya bukanlah sikap percaya terhadap suatu ajaran, melainkan sikap natural terhadap prinsip-prinsip hidup yang dikendalikan oleh akal-budi .
Memahami sedikit tentang Idiologi seperti yang dijelaskan di atas memudahkan kita melihat pertautan antara Idiologi dengan konstitusi. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa konsitusi merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik ketika negara akan didirikan atau ketika konstitusi itu disusun. Pemikiran politik dalam konteks ini tentulah tidak mesti dipahami sebagai pemikiran politik praktis. Ini sangat penting karena dalam perkembangannya kata Idiologi sebagaimana halnya di masyarakat Indonesia mempunyai konotasi program sosial-politik yang cenderung menempatkan lai-lainnya, termasuk hukum  “bahkan konstitusi sendiri” sebagai alat-alatnya dan oleh karena itu berada dalam subordinasinya. Padal menurut A. Hamid S. Attamimi, menurut UUD 1945 hukumlah yang memimpin semua program kehidupan rakyat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk program sosial politiknya
Pada satu sisi pancasila adalah Idiologi Negara dan disisi lain Pancasila mempunyai kedudukan sebagai cita hukum yang menguasai Hukum Dasar Negara. Apabila pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 mewujudkan cita hukum, maka pokok-pokok pikiran itu tidak lain melainkan Pancasila. Dengan demikian, maka pokok-pokok pikiran yang mewujudkan cita hukum itu ialah Pancasila yang sekaligus merupakan ideologi negara. Karena itu jelaslah, bahwa apabila konstitusi dipahami sebagai kristalisasi dair pemikiran politik ternyata bukan dalam artian politik praktis atau sebagai kristalisasi dari program sosial politik. Dilain pihak sebagai dampak dari berkembangnya paham negara konstitusional yang telah memperkembangkan suatu perangkat peraturan dan ketentuan yang sangat jelas bagi berjalannya ketiga fungsi pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang bersumber pada konstitusi. Namun, karena konstitusi adalah karya manusia maka tentunya tidak lepas dari kekurangan-kekurangan. Ia juga bukan sebuah dogma yang harus berlaku abadi tanpa diutak-atik. Dimanika kehidupan sosial bergerak begitu cepat sering kali tidak bisa diprediksikan para pembuat konstitusi pada saat konstitusi disusun. Terhadap hal ini Lito Exposto mengemukakan, bahwa Konstitusi pada kurun waktu tertentu mungkin dianggap sempurna tetapi pada lain waktu dianggap tidak memadai lagi. Beberapa ahli menyebut bahwa perubahan itu penting karena dua hal
(Taufiqurrohman. 2004;69).
(a) ia sesungguhnya adalah hasil sebuah kompromi dari beberapa kekuatan politik dengan kepentingan-kepentingan yang berbeda.
(b) kemampuan para penyusunnya yang terbatas.
Oleh karena itu, sebuah konstitusi tidak dapat berlaku seterusnya tanpa perubahan.
Dalam kaitannya dengan perubahan konstitusi itu, apakah sekagus perubahan terhadap ideologi ? Inilah sebenarnya pertanyaan penting ketika kita membincangkan hubungan antara ideologi dan konstitusi. Terutama ketika dalam suatu masyarakat negara menghendaki reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

II.               Antara ideology dan perubahan konstitusi

Reformasi merupakan suatu proses menyeimbangkan in put, proses dan out put. Dalam padangan banyak orang, reformasi bertujuan untuk membuka babak baru atau membuat langkah awal yang baru (to make a fresh start) dalam kehidupan bernegara. Pandangan ini bisa diterima, apabila reformasi tidak diterjemahkan atau dipahami sebagai revolusi. Dan sebagaimana dikemukakan Indra Perwira (2005), bahwa sebelum melangkah dibutuhkan arah tujuan baru yang jelas dan sebelum membuat arah tujuan itu diperlukan sebuah paradigma, keyakinan, dan kerangka idiologi yang baru, yang pada akhirnya akan melahirkan perombakan sistem ketatanegaraan baik suprastruktur maupun infra struktur. Perombakan sistem ketatanegaraan itu lazimnya ditandai dengan perubahan atau penggantian konstitusi, baik secara formal (formal amandement) maupun melalui interprestasi (judicial interpretation, usage and costum) (Rozak. 2008;99).
Sebelumnya sudah dikemukakan bahwa antara Idiologi dan konstitusi adalah suatu hal yang integral. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan konstitusi yang tidak dapat beradaptasi dengan dinamika masyarakat akan kehilangan makna dan hanya menjadi sebuah dokumen yang tidak bermanfaat, saya pikir adalah pendapat yang berlebihan. Padangan demikian, sebenarnya telah kehilangan cita mengenai hakikat konstitusi yang hanya dilihat dan dipahami sebagai sebuah aturan biasa. Meskipun kita setuju, bahwa esensi perubahan bagi sebuah konstitusi adalah agar konstitusi itu dapat merespons kebutuhan dan tuntutan zaman yang dengan demikian ia dapat bertahan. Namun persoalannya dalam konstitusi itu termuat suatu Idiologi atau cita hukum. Jadi masalahnya bukan sekedar apakah konstitusi itu memberikan perluang untuk perubahan atau tidak, melainkan sejauhmana urgensi dari perubahan itu diperlukan dan keterkaitannya dengan cita hukum yang tertuang dalam konstitusi sebagai suatu kristalisasi dari berbagai pemikiran politik. Karena demikian esensialnya isi konstitusi, maka konstitusi tidaklah boleh dikritisi dari kepentingan politik . Pemikiran pembaharuan atau perubahan terhadap konstitusi mestilah dilakukan dengan cita pemikiran ideal dan visioner. Politik dilihat sebagai sesuatu yang kotor, busuk dan didominasi segelintir orang yang tidak peduli dengan nasib bangsa. Pemerintahan baru yang demokratis pun dinilai tidak mampu untuk menangani berbagai masalah seperti korupsi dan kejahatan. Kondisi serupa ini tidaklah menjadi alasan untuk melakukan perubahan konstitusi, karena bisa jadi hal itu terjadi karena para elit penyelenggara Negara tidak melakukan tugasnya sesuai dengan yang diamanatkan konstitusi. Ujungnya adalah penegakkan hukum, termasuk konstitusi. dari itulah setidaknya kita dapat melihat korelasi antara ideologi dan perubahan konstitusi. Karena Idiologi atau cita hukum yang tertuang dalam konstitusi mempunyai dua fungsi sebagaimana halnya dengan Pancasila di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa cita hukum selain mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan dasar suatu tatanan hukum, yang tanpa itu suatu hukum kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum, juga mempunyai fungsi regulative yang menentukan apakah suatu hukum positif adil atau tidak adil. Demikian juga dalam hal Pancasila merupakan cita hukum, maka nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila mempunyai fungsi konstitutif, disamping fungsi regulative. Sementara kedudukan Pancasila sebagai Norma hukum tertinggi dalam hal ini sebagai pokok-pokok pikiran Pembukaan Hukum Dasar (UUD 1945) yang menciptakan pasal-pasal UUD 1945, menentukan isi dan bentuk lapisan hukum yang lebih rendah.
Dari penjelasan diatas, maka jelaslah bahwa keberadaan Idiologi dengan konstitusi berada dalam suatu tatanan yang integral. Ideologi berada dalam dua kedudukan;
Pertama Idiologi berkedudukan dalam tata hukum namun terletak diluar sistem norma hukum. Dalam kedudukannya yang demikian Idiologi berfungsi secara konstitutif dan secara regulatif terhadap norma-norma yang ada dalam sistem norma hukum. Dan sebagai norma hukum tertinggi ideologi dalam sistem norma hukum karena menjadi pokok-pokok pikiran dalam konstitusi, maka ideologi merupakan norma dasar. konstitusi dibangun atas dasar ideologi yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat-negara bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa dikatakan konstitusi bukan sekedar hukum yang adil dan biasa. Justeru konstitusi adalah sebuah hukum yang fundamental. Karenya perubahan konstitusi tidaklah sekedar merespon tuntutan zaman, apalagi sekedar memenuhi kepentingan politik, melainkan yang paling penting adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dengan demikian, konstitusi tidak selalu dipahami sebagai alat untuk membatasi kekuasaan negara. Ini tentu saja dengan mendekatkan diri pada makna konstitusi yang lebih mendalam yakni ada dalam konstitusionalisme (Rozak. 2008;109).

III.           Ideologi Dan Konstitusi.Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanya­an: what is a constitution dapat dijawab bahwa “a consti­tution is a document which contains the rules for the the operation of an organization. Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tum­buh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris  (jimly.1994;56).
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang meng­ikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedau­latan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang dise­but oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewe­nangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diatur­nya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demo­krasi, rak­yatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi (Sabaroedin.1989;88).
Constituent power menda­hului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pe­me­rin­tahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut (Sabaroedin.1989;89).
Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Consti­tutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words eng­rossed on parchment to keep a government in order”. Untuk tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sede­mikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses peme­rintahan dapat dibatasi dan dikendalikan seba­gai­mana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekua­saan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia (Sabaroedin.1989;91).
Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seper­ti dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas, “constitutionalism is an insti­tutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepa­katan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi ke­kua­saan negara yang bersangkutan, dan pada gi­lir­annya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misal­nya, ter­cermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Ame­rika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun peristiwa besar di In­do­nesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998 (Karl.1998;103).
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalis­me di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kese­pakatan (consensus), yaitu:
1.          Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).
2.         Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
3.         Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).

Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan de­ngan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konsti­tusi dan konsti­tusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung­kin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema­jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin ke­ber­samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe­rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju­ga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara (Karl.1998;106).
Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu­judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca­sila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne­gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah­teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde­kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan social(Hood.1987;76).
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis peme­rin­tahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks pe­nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa diguna­kan untuk itu adalah the rule of law yang dipelo­pori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu The Rule of Law, and not of Man untuk menggam­barkan pe­ngertian bah­wa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang(Hood.1987;78).
Istilah The Rule of Law jelas berbeda dari istilah The Rule by Law. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digam­barkan hanya sekedar bersifat instru­mentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu The Rule of Man by Law. Dalam pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang di puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah consti­tutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting se­hingga konstitusi sendiri dapat dija­dikan pegangan tertinggi dalam memutuskan sega­la sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya (Hood.1987;80).
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) ba­ngunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya; (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain; serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepa­kat­an itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama ber­ke­naan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ke­tatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kese­pakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam doku­men konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para peran­cang dan perumus konstitusi tidak seharus­nya membayang­kan, bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah seharus­nya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme perubahan un­dang-undang dasar tidak boleh menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemung­kinan perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru(Richard.2004;92).
Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa orde baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat(Richard.2004;95).
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakat kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi (Richard.2004;96)
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya (Richard.2004;99).



BAB III

PENUTUP


I.                  Kesimpulan
Cita-cita ideal bernegara berlaku bagi segenap bangsa Indonesia tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan kemajuan tersendiri bagi bangsa Indonesia dibandingkan beberapa konstitusi negara lain, bahkan di Amerika dan Perancis, yang semula hanya menyebutkan kata “man” sebagai warga negara. Salah satu sila dari Pancasila adalah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu penyangga bangsa Indonesia adalah prinsip kemanusiaan yang adil, yang dengan sendirinya menentang diskriminasi baik berdasarkan ras, agama, keyakinan politik, maupun gender.
Berhadapan dengan realitas masih adanya diskriminasi atas perempuan baik secara kultural maupun struktural, adalah suatu ketidakadilan jika sekedar memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk berperan dalam berbagai bidang kehidupan. Perempuan jelas akan tetap tertinggal karena kemampuan dan dukungan sosial yang diperoleh kalah dibandingkan dengan laki-laki yang sejak awal memang dominan.
Karena itulah adalah sah dan memenuhi rasa keadilan jika terdapat kebijakan yang berupaya mendorong peran perempuan dengan memberikan kuota khusus (affirmative action). Hal ini secara konstitusional dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”


DAFTAR PUSTAKA


Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Kranenburg, R. dan Tk. B. Sabaroedin. Ilmu Negara Umum. Cetakan Kesebelas. Jakarta: Pradnya Paramita, 1989.
Mannheim, Karl. deology and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge.. Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
Phillips, O. Hood. Constitutional and Administrative Law. 7th ed. London: Sweet and Maxwell, 1987.
Pildes, Richard H. “The Constitutionalization of Democratic Politics”. Harvard Law Review, Vol. 118:1, 2004.
Syahuri, Taufiqurrohman. 2004. Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD di                        indonesia 1945-2002. Bogor: Ghalia Indonesia
Ubaidillah, Abdul Rozak. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: KENCANA.
Mahfud .2000. idiologi pancasila dan konstitusi.Jakarta: erlangga.



Sabtu, 13 April 2013


MAKALAH
KASIAT TANAMAN TEMULAWAK
(CURCUMA XANTHORRHIZA)


Oleh:
NAMA: Moh.Bakhrul Ulum
NIM: 12620095
JURUSAN/SEMESTER: Biologi / 2
Dosen Pengampu:
Romaidi M.Si

Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang Tahun Pelajaran 2013/2014

KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT ,yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah  yang berjudulkan Manfaat tanaman temulawak.
Dalam penyusunan Makalah ini penulis masih banyak memiliki kekurangan, baik pada teknik penulisan maupun pada penulisan materi, menginggat kemampuan yang dimiliki penulis.untuk itu,kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangatlah penulis harapkan dmi penyempurnaan makalah ini.














                                                                             Malang 07 maret 2013

                                                                               penulis

DAFTAR ISI





BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

 

Dalam kehidupan sehari-hari Temulawakcurcuma xanthorrhiza ) banyak ditemukan di hutan-hutan daerah tropis. Temulawak juga berkembang biak di tanah tegalan sekitar pemukiman, terutaama pada tanah gembur, sehingga buaah rimpangnya mudah berkembang menjadi besar. Temulawak termasuk jenis tumbuh-tumbuhan herba yang batang pohonnya berbentuk batang semu dan tingginya dapat mencapai 2 meter.Daunnya lebar dan pada setiap helaian dihubungkan dengan pelapah dan tangkai daun yang agak panjang.Temulawak mempunyai bunga yang berbentuk unik (bergerombol) dan berwarna kuning tua.Rimpang temulawak sejak lama dikenal sebagai bahan ramuan obat.Aroma dan warna khas dari rimpang temulawak adalah berbau tajam dan daging buahnya berwarna kekuning-kuningan.Daerah tumbuhnya selain di dataran rendaah juga dapat tumbuh baik sampai pada ketinggian tanah 1500 meter di atas permukaan laut (Hieronymus:2011).

temulawak merupakan komponen penyusun hamper setiap jenis obat tradisional yang dibuat di Indonesia, hasil survey pemanfaatan tanaman obat dalam industry obat tradisional menunjukkan bahwa temulawak dipergunakan sebagai bahan baku 44 jenis produk obat tradisional penggunaan temulawak menggalami perkembangan, mulai dari obat-obatan tradisional, melalui sediaan obat herbal terstandar, akhirnya menjadi sediaan fitofarmaka,saat ini total serapan temulawak dalam industri obat tradisional dan obat fitofarmaka diperkirakan mencapai 8.750 ton/tahun , sementara itu temulawak Indonesia ke jerman pada tahun 1999 hanya menduduki urutan ke-33 berdasarkan volume yaitu 106 ton dan urutan ke-41 berdasarkan nilai yaitu US $  154,000.00,  padahal peluang untuk mengisi pasr luar negri sangat luas. Standar pesaing untuk Indonesia dipasar Internasional adalah india, indocina dan Horgania
(Hernani: 2001).

B.Rumusan Masalah


1.      Apa manfaat tanaman temulawak terhadap kesehatan?
2.      Apa kandungan kimia didalam tumbuhan temulawak?

C.Tujuan penulisan


1.      untuk mengetahui manfaat tanaman temulawak dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Untuk mengetahui kandungan kimia didalam tanaman temulawak.













BAB II

PEMBAHASAN


A.Pengertian tanaman temulawak( curcuma xanthorrhiza )

Temulawak merupakan tanaman berbiji tertutup yang lazim dijadikan bahan obat herbal semisal jamu.Tanaman temulawak pada dasarnya merupakan tumbuhan asli dari Indonesia, meskipun saat ini persebaran tumbuhnya telah mencapai kawasan Eropa, Amerika Serikat dan Negara-negara Asia seperti Korea Selatan.Sebagai tananam obat, temulawak memiliki banyak khasiat bagi kesehatan.Hal ini wajar mengingat kandungan senyawa aktif dalam temulawak cukup kompleks dan bahkan dinilai lebih lengkap dibandingkan gingseng (H.A. Van Hien:2003).
Tanaman ini merupakan tanaman yang berbatang semu dengan tinggi hingga lebih dari 1m tetapi kurang dari 2m, berwarna hijau atau coklat gelap.Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2–9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap,panjang daun 31–84cm dan lebar 10–18cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43–80cm. Perbungaan lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9–23cm dan lebar 4–6cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8–13mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4.5cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1.25–2cm dan lebar 1cm (Setiawan Dalimatra:2006).
temulawak rasanya pedas,pahit,sifatnya dingin,masuk meridian hati,jantung, dan kandung empedu (Setiawan Dalimatra:2006).
Temulawak terbukti dapat menurunkan kadar SGOT dan SGPT, mengurangi kejadian fibrosis hati sehingga mencegah berlanjutnya ke sirosis hati. Pada penderita hepatitis akut, temulawak juga meningkatkan nafsu makan, mengurangi perut kembung, menghilangkan demam dan pegal linu.Jangan minum air perasan temulawak mentah karena dalam keadaan mentah pastinya bisa mengganggu fungsi ginjal (Setiawan Dalimatra:2006).

B.Sentra penanaman

Tanaman ini ditanam secara konvensional dalam skala kecil dengan menggunakan teknologi budidaya yang sederhana, karena itu sulit menentukan letak sentra penanaman temulawak di Indonesia.Hampir di setiap daerah pedesaan, terutama di dataran sedang dan tinggi, dapat ditemukan temulawak terutama di lahan yang teduh (M. Mateblowski:1991).


C.Sistem Budidaya Temulawak

Meski tanaman temulawak digolongkan sebagai tumbuhan dengan divisi Spermatophyta (tanamam berbiji tertutup), sub divisi Angiospermae, dan kelas Monocotyledonae, tetapi perbanyakannya tidak melalui biji melainkan secara vegetatif yakni dengan memperbanyak bibit melalui rimpangnya (baik itu rimpang induk maupun rimpang cabang). Rimpang induk dikeringkan dan kemudian ditanam. Sedangkan rimpang cabang, dipisahkan dari rimpang induk dan dilakukan proses untuk menunggu tunasnya tumbuh kemudian siap ditanam
(Rahmat Rukmana,Ir:1995).

1.Pertumbuhan

Pertumbuhan tanaman temulawak dapat maksimal bila ditanam di tempat-tempat tertentu da dibawah ini akan di uraikan (Sardiantho:1997).

1.1 Iklim

  • Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan terlindung dari teriknya sinar matahari. Di habitat alami rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu atau jati. Namun demikian temulawak juga dapat dengan mudah ditemukan di tempat yang terik seperti tanah tegalan. Secara umum tanaman ini memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai cuaca di daerah beriklim tropis.
  • Suhu udara yang baik untuk budidaya tanaman ini antara 19-30 oC
  • Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan antara 1.000-4.000 mm/tahun.

1.2 Media tanam

Perakaran temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah baik tanah berkapur, berpasir, agak berpasir maupun tanah-tanah berat yang berliat.Namun demikian untuk memproduksi rimpang yang optimal diperlukan tanah yang subur, gembur dan berdrainase baik.Dengan demikian pemupukan anorganik dan organik diperlukan untuk memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur.Tanah yang mengandung bahan organik diperlukan untuk menjaga agar tanah tidak mudah tergenang air.


1.3 Ketinggian

Temulawak dapat tumbuh pada ketinggian tempat 5-1.000 m/dpl dengan ketinggian tempat optimum adalah 750 m/dpl.Kandungan pati tertinggi di dalam rimpang diperoleh pada tanaman yang ditanam pada ketinggian 240 m/dpl.Temulawak yang ditanam di dataran tinggi menghasilkan rimpang yang hanya mengandung sedikit minyak atsiri.Tanaman ini lebih cocok dikembangkan di dataran sedang.
D. Produk Berbahan Utama Temulawak

Bagian yang paling banyak digunakan dari tanaman temulawak adalah bagian rimpangnya. Rimpang ini sejak dahulu kala telah digunakan oleh nenek moyang kita sebagai bahan utama jamu.Seiring majunya perkembangan jaman, temulawak tak lagi digunakan sebatas bahan utama jamu. Saat ini, dengan mudah kita bisa mendapatkan produk-produk berbahan dasar temulawak, misalnya cream wajah siang dan malam, ekstrak temulawak bubuk siap seduh, toner dan pembersih wajah dari temulawak, saritemulawak, kapsul ekstrak temulawak dan masih banyak lagi lainnya (Anonimous:1994).

E. Kandungan dan Manfaat

senyawa  aktif  utama  dalam  rimpang  temulawak  dan  kunyit  yang  mempunyai
keaktifan  fisiologi  ialah  kurkumin.senyawa  kimia  yang  lain  adalah:  minyak  atsiri, resin, oleoresin, desmetoksikurkumin, dan bidesmetoksikurkumin,         damar, gom, lemak,  protein,  kalsium,  fosfor  dan  besi. bahan–bahan  aktif  tersebut  bermanfaat
sebagai antikoagulan,menurunkan tekanan darah, obat cacing, obat asma, penambah  darah,  mengobati  sakit  perut,  penyakit  hati,  karminatif,  stimulan,  gatal-
gatal, gigitan serangga, diare, dan rematik (goodin:185-192).
Temulawak memiliki efek farmakologi yaitu, hepatoprotektor (mencegah penyakit hati), menurunkan kadar kolesterol, anti inflamasi (anti radang), laxative (pencahar), diuretik (peluruh kencing), dan menghilangkan nyeri sendi. Manfaat lainnya yaitu, meningkatkan nafsu makan, melancarkan ASI, dan membersihkan darah (Goodin:185-192).
Selain dimanfaatkan sebagai jamu dan obat, temu lawak juga dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dengan mengambil patinya, kemudian diolah menjadi bubur makanan untuk bayi dan orang-orang yang mengalami gangguan pencernaan. Di sisi lain, temulawak juga mengandung senyawa beracun yang dapat mengusir nyamuk, karena tumbuhan tersebut menghasilkan minyak atsiri yang mengandung linelool, geraniol yaitu golongan fenol yang mempunyai daya repellan nyamuk Aedes aegypt (Hieronymus:2011).

F. Penyakit Yang Dapat Diobati :

Sakit limpa, Sakit ginjal, Sakit pinggang, Asma, Sakit kepala; Masuk angin, Maag, Sakit perut, Produksi ASI, Nafsu makan; Sembelit, Sakit cangkrang, Cacar air, Sariawan, Jerawat.
1.      . Sakit Limfa / Limpa
Bahan: 2 rimpang temulawak, 1/2 rimpang lengkuas, 1 genggam
daun meniran.
Cara membuat: temulawak dan lengkuas diparut, kemudian semua
bahan tersebut direbus dengan 1 liter air sampai mendidih, dan
disaring.
Cara menggunakan: diminum 1 kali sehari 1 cangkir.
2.      Sakit Ginjal
Bahan: 2 rimpang temulawak, 1 genggam daun kumis kucing, 1
genggam daun kacabeling.
Cara membuat : temulawak diiris tipis-tipis, kemudian direbus
bersama dengan bahan lainnya dengan 1 liter air, dan disaring.
Cara menggunakan: diminum selama 3 hari.
3.      Sakit Pinggang
Bahan: 1 rimpang temulawak, 1 rimpang kunyit sebesar ibu jari, 1
genggam daun kumis kucing.
Cara membuat : semua bahan tersebut direbus dengan 1 liter air,
dan disaring.
Cara menggunakan: diminum 1 kali sehari 1 gelas.
4.      . Asma
Bahan: 1 1/2 rimpang temulawak, 1 potong gula aren.
Cara membuat: temulawak diiris tipis-tipis dan dikeringkan. Setelah
kering direbus dengan 5 gelas air ditambah 1 potong gula aren
sampai mendidih hingga tinggal 3 gelas, kemudian disaring.
5.      Sakit Kepala dan masuk angin
Bahan: beberapa rimpang temulawak.
Cara membuat: temulawak diiris tipis-tipis, dikeringkan dan ditumbuk
halus menjadi tepung. Kurang lebih 2 genggam tepung temulawak
direbus dengan 4-5 gelas air sampai mendidih hingga tinggal 3
gelas, kemudian disaring disaring.
6.      Maag
Bahan: 1 rimpang temulawak.
Cara membuat: temulawak diiris tipis-tipis dan diangin-anginkan
sebentar, kemudian direbus dengan 5-7 gelas air sampai mendidih,
dan disaring.
Cara menggunakan: diminum 1 kali sehari 1 gelas.
7.      . Sakit perut, sakit perut pada waktu haid
Bahan: 1 rimpang temulawak, 3 buah mata asam, 1 potong gula
kelapa, garam secukupnya.
Cara membuat: temulawak diparut, kemudian direbus bersama
bahan lainnya dengan 3-4 gelas air sampai mendidih hingga tinggal
2 gelas.
Cara menggunakan: diminum 2 kali sehari 1 cangkir, pagi dan sore.
8.      Menghilangkan bau amis sewaktu haid
Bahan: 1 rimpang temulawak, 5 buah mata asam, 1 potong gula
kelapa.
Cara membuat: temulawak diiris tipis-tipis dan diangin-anginkan,
kemudian bersama bahan lainnya ditaruh dalam waskom (rantang/
panci), diberi 2 gelas air panas dan ditutup rapat selama kurang lebih
15 menit, dan disaring.
Cara menggunakan : diminum 3 kali, 1 kali sehari.
9.      Memperbanyak produksi ASI
Bahan: 1 1/2 rimpang temulawak, dan tepung saga secukupnya.
Cara membuat: temulawak diparut, kemudian kedua bahan tersebut     
dicampur dan ditambah air panas secukupnya sehingga menjadi
bubur.       
Cara menggunakan : dimakan biasa.
10.  Memacu ASI yang macet
Bahan : 1 1/2 rimpang temulawak diparut, 1 potong gula kelapa,
2-3 sendok makan adonan sagu.
Cara membuat : temulawak diparut, kemudian bersama bahan
lainnya direbus dengan 1 liter air sampai mendidih dan disaring.
Cara menggunakan : diminum 2 kali sehari 1 cangkir secara teratur.
11.  Kesulitan berak /  buang air besar (BAB)
Bahan: 1 rimpang temulawak, 3 buah mata asam, 1 potong gula
kelapa.
Cara membuat : temulawak diiris tipis-tipis dan diangin-anginkan
sampai kering, kemudian bersama bahan lainnya diseduh dengan air
panas secukupnya dan disaring.
Cara menggunakan: diminum biasa.
12.  Sembelit
Bahan : 1 rimpang temulawak dan biji sawi secukupnya.
Cara membuat : kedua bahan tersebut ditumbuk sampai halus,
kemudian diseduh dengan air panas secukupnya dan disaring.
Cara menggunakan : diminum biasa.
13.  Menambah nafsu makan
Bahan: 2 rimpang temulawak, 1/4 rimpang lengkuas, 1/2 genggam
daun meniran.
Cara membuat : semua bahan tersebut direbus dengan 3 gelas air
sampai mendidih hingga tinggal 2 gelas, kemudian disaring.
Cara menggunakan : diminum 2 kali sehari 1/2 gelas.














BAB III

PENUTUP


A.    KESIMPULAN

            Manfaat  Tanaman temulawak ternyata banyak diantaranya adalah sebagai jamu dan obat, temulawak juga dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dengan mengambil patinya, kemudian diolah menjadi bubur makanan untuk bayi dan orang-orang yang mengalami gangguan pencernaan. Di sisi lain, temulawak juga mengandung senyawa beracun yang dapat mengusir nyamuk, karena tumbuhan tersebut menghasilkan minyak atsiri yang mengandung linelool, geraniol yaitu golongan fenol yang mempunyai daya repellan nyamuk Aedes aegypti,tumbuhan ini juga jga sering di sebut sebagai tanaman obat karna berbagai penyakit dapat disembuhkan dengan tanaman herbal ini.
            Zat-zat kimia yang terkandung dalam tanaman obat ini terutama rimpang temulawak adalah protein, karbohidrat, dan minyak atsiri yang terdiri atas kamfer, glukosida, turmerol, dan kurkumin. Kurkumin bermanfaat sebagai anti inflamasi (anti radang) dan anti hepototoksik (anti keracunan empedu).

 

B.     SARAN

Kepada bapak dosen saya mohon maaf bila pembuatan makalah  ini banyak terjadi kesalahan dalam hal ketik atau yang lainya, saya mohon untuk di maklumi dan di benarkan di lain waktu.






 

 

DAFTAR PUSTAKA

Dalimatha, setiawan, Ramuan tradisional untuk pengobatan hepatitis.

   jakarta: penebar swadaya, 2006.

H.A. Van Hien, resep-resep pengobatan jawa kuno, bandung: ITB, 2003

Hieronymus budi santoso, kitab ramuan tradisional-mahakarya nenek moyang

   bangsa Indonesia, Yogyakarta: pohon cahaya, 2011.

M. Mateblowski (1991), Curcuma xanthorrhiza Roxb, penerbit PMI Verlag.

HERNANI. 2001. Temulawak (Curc­uma Xanthorhiza Roxb.) tumbuhan obat Indonesia.

   PEnggunaan dan khasiatnya. Pustaka obor, Jakarta.p130-132.

Goodin,M.M,A.R.Biggs and A.M.Castle. Changes in Levels and Isozymes of peroxidase in

   wounded peach bark. Fruit varieties journal. 47(4): 185-192.

Anonimous. 1994. Hasil penelitian dalam rangka pemanfaatan peptisida nabati. Prosiding

             seminar di bogor 1-2 desember 1993. Balai penelitian tanaman dan obat.Bogor. 311hal.

Rahmat Rukmana,Ir. 1995. Temulawak: Tanaman rempah dan obat. Penerbit
              kanisius.Yogyakarta.

Sardiantho.  1997.  Empat  Tanaman  Obat  untuk  Asam  Urat.  Trubus  No.  331 Jakarta,

             Februari 2000 Sumber: Sistim Informasi Manajemen pembangunan di perdesaan

,BAPPENAS Editor : Kemal Prihatman.